Penggunaan Pestisida


Menggunakan Pestisida Secara Bijak

Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya.
Pest berarti hama, sedangkan cide berarti membunuh. Penggunaan pestisida biasanya dilakukan dengan bahan lain misalnya dicampur minyak dan air untuk melarutkannya, juga ada yang menggunakan bubuk untuk mempermudah dalam pengenceran atau penyebaran dan penyemprotannya, bubuk yang dicampur sebagai pengencer umumnya dalam formulasi dust, atraktan (misalnya bahan feromon) untuk pengumpan, juga bahan yang bersifat sinergis lainnya untuk penambah daya racun.
Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida kadang-kadang menyalahi aturan, selain dosis yang digunakan melebihi takaran, petani juga sering mencampur beberapa jenis pestisida, dengan alasan untuk meningkatkan daya racunnya pada hama tanaman. Tindakan yang demikian sebenarnya sangat merugikan, karena dapat menyebabkan semakin tinggi tingkat pencemaran pada lingkungan oleh pestisida.
Pencemaran lingkungan pada industri pertanian disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Penggunaan bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan perairan, untuk meningkatkan produksi pertanian disamping juga menjaga keseimbangan lingkungan agar tidak terjadi pencemaran akibat penggunaan pestisida perlu diketahui peranan dan pengaruh serta penggunaan yang aman dari pestisida dan adanya alternatif lain yang dapat menggantikan peranan pestisida pada lingkungan pertanian dalam mengendalikan hama, penyakit dan gulma.
Penyemprotan pestisida yang tidak memenuhi aturan akan mengakibatkan banyak dampak, diantaranya dampak kesehatan bagi manusia yaitu timbulnya keracunan pada petani yang dapat dilakukan dengan jalan memeriksa aktifitas kholinesterase darah. Faktor yang berpengaruh dengan terjadinya keracunan pestisida adalah faktor dari dalam tubuh (internal) dan dari luar tubuh (eksternal). Faktor dari dalam tubuh antara lain umur, jenis kelamin, genetik, status gizi, kadar hemoglobin, tingkat pengetahuan dan status kesehatan. Sedangkan faktor dari luar tubuh mempunyai peranan yang besar. Faktor tersebut antara lain banyaknya jenis pestisida yang digunakan, jenis pestisida, dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, masa kerja menjadi penyemprot, lama menyemprot, pemakaian alat pelindung diri, cara penanganan pestisida, kontak terakhir dengan pestisida, ketinggian tanaman, suhu lingkungan, waktu menyemprot dan tindakan terhadap arah angin.
Pestisida yang banyak direkomendasikan untuk bidang pertanian adalah golongan organofosfat, karena golongan ini lebih mudah terurai di alam. Golongan organofosfat mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam mengantarkan impuls sepanjang serabut syaraf. Pengukuran tingkat keracunan berdasarkan aktifitas enzim kholinesterase dalam darah dengan menggunakan metode Tintometer Kit, tingkat keracunan adalah sebagai berikut : 75% - 100 % kategori normal, 50% - 75% kategori keracunan ringan, 25% - 50 kategori keracunan sedang dan 0% - 25% kategori keracunan berat
Selain berbahaya bagi kesehatan manusia, pestisida dapat mempunyai dampak buruk bagi lingkungan. Pestisida yang ditemukan dalam berbagai medium lingkungan hanya sedikit sekali, namun kadar ini mungkin akan lebih tinggi bila pestisida terus bertahan di lingkungan (residu). Pestisida dapat bertahan lama pada lingkungan karena mempunyai waktu paruh yang lama seperti jenis klororganik seperti DDT
(Dikloro-Difenil-Trikloroetan). Dalam lingkungan air waktu paruh DDT, lebih dari 10 tahun, sedangkan dieldrin, 20 tahun. Dalam tanah, waktu paruh DDT sekitar 40 tahun. Bahkan, DDT (0,2 ppm) masih ditemukan dalam sampel lemak pada binatang Antartika. Cacing tanah dapat menimbun DDT dari tanah hingga 14 kali dari kadar DDT tanah itu sendiri, sedangkan tiram dapat menimbun DDT 10 hingga 70.000 kali dari kadar DDT air laut. Sedangkan pada manusia sebagai rantai makanan terakhir tidak mempunyai batas yang jelas, pada orang Eropa kadar DDT dalam sel lemak rata-rata 0,2 ppm sedangkan orang Amerika rata-rata 13,5 ppm.
Menurut laporan kegiatan pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah petani di Kabupaten Magelang pada tahun 2006 di beberapa kecamatan yang selama ini menjadi sentra holtikultura seperti di Kecamatan Ngablak, Pakis, Dukun, Kajoran, Bandongan,Windusari, dan Kaliangkrik dari 550 sampel darah petani yang selama ini menggarap ladang sayuran, didapatkan 99,8% keracunan pestisida. Dari 99,8% petani yang telah keracunan pestisida tersebut, 18,2% termasuk dalam kategori keracunan berat, 72,73% kategori sedang, 8,9% kategori ringan,dan hanya 0,1% kategori normal.
Asosiasi Industri Perlindungan Tanaman Indonesia (AIPTI) mengemukakan dari 1.000 petani, tak lebih dari 10 petani yang telah menerapkan pola pemakaian pestisida secara benar. Kerugian dari perilaku buruk ini bukan cuma berdampak pada kerusakan lingkungan, kesehatan, dan timbulnya hama tanaman yang resisten. Namun, dari segi biaya produksi, penanaman cabe dan bawang merah yang over dalam pemakaian pestisidanya menyebabkan pembengkakan biaya.
Munculnya hama yang lebih resisten akibat pemakaian pestisida yang berlebihan harus diperhatikan, AIPTI itu mencontohkan dengan apa yang tengah terjadi di Desa Sarireja Kecamatan Losari Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah. Di desa itu, dalam dua musim tanam belakangan ini, tanaman cabe yang ditanam petani setempat mengalami gagal panen. Belakangan dari hasil penelitian lapangan tim AIPTI, kegagalan panen yang terjadi diketahui karena adanya sejenis virus yang berjangkit di tanaman cabe petani. Jenis virus itu belum ada obat pemusnahnya di pasaran. Virus itu biasanya menyerang seluruh bagian tanaman cabe hingga tanaman yang ada menjadi layu, daunnya keriting sampai akhirnya mengering.
Penggunaan pestisida pada tanaman cabe paling sering ditemukan kandungan residunya. Kandungan residu tersebut yaitu propenofos lebih dari 5 miligram yang merupakan batas residu pada tanaman cabe. Hal ini dikarenakan adanya petani yang sering mengambil langkah praktis, mereka langsung menyemprot dengan pestisida tanpa memperhatikan nilai ambang ekonomi hama, dosis anjuran dan jenis pestisida.
Merek pestisida terdaftar dan diterbitkan oleh Komisi pestisida sebanyak 101 jenis formulasi pestisida untuk 26 jenis hama penyakit tanaman cabe, 72 jenis formulasi pestisida untuk 18 jenis hama penyakit tanaman bawang dan 57 jenis formulasi pestisida untuk 13 jenis hama penyakit tanaman kentang.
Pestisida jenis organofosfat di negara berkembang seperti Indonesia biasanya ditemukan dalam bentuk insektisida. Persenyawaan organofosfat pada mulanya ditemukan di Jerman selama Perang Dunia II. Mereka menggunakannya sebagai gas saraf dalam perang kimia seperti tabun, sarin dan soman. Sintesa awal meliputi persenyawaan seperti Tetraetilfirofosfat (TEPP), parathion dan skradan nyata efektif sebagai insektisida. Gas syaraf ini dapat mengimbulkan menurunnya kadar kholinesterase dalam darah.
Selain dari penurunan kadar kolinesterase dalam darah, pestisida juga dapat menimbulkan penurunan kadar haemoglobin, penurunan fungsi hati dan bertambahnya volume ginjal.

Kebiasaan Petani

Petani cabe pada umumnya mereka lebih menyukai
petunjuk tentang cara penggunaan pestisida dari petani yang mereka anggap berhasil dibandingkan dengan petunjuk dari Penyuluh Pertanian. Petani dalam melakukan penyemprotan pestisida berdasarkan kebiasaan dan rutinitas tanpa memperhitungkan ambang ekonomi hama, petani tersebut juga melakukan penyemprotan tidak mempertimbangkan bahaya yang diakibatkan oleh pestisida tersebut. Petani diantaranya lebih menitik beratkan pada penghematan biaya dalam membeli pestisida, biasanya pestisida yang harganya mahal dicampur dengan pestisida yang harganya murah dengan perbandingan 1: 5.
Penyemprotan pestisida di daerah ini biasanya terdiri dari
insektisida, fungisida, pupuk dan bahan perekat. Penyemprotan seperti ini dapat membahayakan para petani apabila tidak memperhatikan kaidah yang ditentukan. Pada umumnya petani mencampur lebih dari 2 jenis pestisida untuk satu kali penyemprotan, mereka melakukan penyemprotan seperti ini dikarenakan untuk menghemat waktu dan tenaga.
Kebiasaan petani yang masih menggunakan jenis pestisida yang
dilarang beredar, jenis pestisida yang dilarang beredar antara lain:
- Elsan 60 EC bahan aktif fentoat yang dilarang beredar tahun 1996.
- Metindo 25 WP bahan aktif metomil yang dilarang beredar tahun 1998.
- Dursban 20 EC bahan aktif klorpirofos yang dilarang beredar tahun 1998.
Pada umumnya petani juga menggunakan
bekas kemasan pestisida untuk kepentingan lainnya seperti untuk wadah minyak goreng dan untuk air minum.
Petani dalam melakukan penyemprotan juga tidak mempertimbangkan
kandungan asam dan basa suatu pestisida. Apabila dalam pelaksanaan penyemprotan tersebut kandungan pestisida yang bersifat asam dicampur dengan kandungan pestisida yang bersifat basa akan menimbulkan kristal, sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada sprayer alat semprot. Sisa dari pestisida tersebut selanjutnya akan dibuang petani yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Apalagi sisa penyemprotan tersebut akan lebih berbahaya apabila dibuang di dekat sumber air minum tentunya akan mengakibatkan keracunan.
Kebiasaan petani yang
manambah dosis, apabila pestisida tersebut tidak dapat membunuh hama, maka petani akan meningkatkan dosis, selanjutnya apabila hama tersebut masih belum dapat ditangani petani tersebut akan mencampur pestisida yang satu dengan pestisida yang lain yang harganya murah. Dosis pestisida yang tidak sesuai dosis berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida organofosfat petani penyemprot. Dosis yang tidak sesuai aturan juga dapat mengakibatkan resistensi dan resurjensi hama tanaman. Dosis pestisida yang tidak sesuai anjuran dapat menjadi penyebab keracunan pada petani dan lebih berbahaya lagi apabila pestisida dengan dosis yang tidak sesuai tersebut dicampur bersama akan menimbulkan efek dari bahan aktif masing-masing pestisida tersebut apabila masuk dalam tubuh petani. Efek tersebut antara lain efek adisi (efek dari masing-masing bahan aktif), efek sinergis (efek yang lebih besar dari masing-masing bahan aktif) dan efek antagonis (efek berkurangnya bahan aktif yang satu diikuti dengan peningkatan efek bahan aktif yang lain).
Petani berangggapan bahwa
penyemprotan pestisida mutlak dilakukan, dan mereka beranggapan penyemprotan pestisida bukan bertujuan untuk mengendalikan hama tanaman, tetapi mereka beranggapan untuk mencegah timbulnya hama tanaman tertentu.
Kebiasaan petani yang melakukan
penyemprotan lebih dari lebih dari 3 jam. Penyemprotan pestisida dengan lama penyemprotan lebih dari 3 jam tanpa istirahat akan mengakibatkan keracunan kronik. Dalam melakukan penyemprotan sebaiknya tidak boleh lebih dari 3 jam, bila melebihi maka resiko keracunan akan semakin besar. Seandainya masih harus menyelesaikan pekerjaannya hendaklah istirahat dulu untuk beberapa saat untuk memberi kesempatan pada tubuh untuk terbebas dari pemaparan pestisida.
Kebiasaan petani yang
tidak memperhatikan arah angin dalam melakukan penyemprotan. Kita tahu bahwa lebih dari 75 persen aplikasi pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan, sehingga memungkinkan butir-butir cairan tersebut melayang, menyimpang dari aplikasi. Jarak yang ditempuh oleh butrian-butiran cairan tersebut tergantung pada ukuran butiran. Butiran dengan radius lebih kecil dari satu mikron, dapat dianggap sebagai gas yang kecepatan mengendapnya tak terhingga, sedang butiran dengan radius yang lebih besar akan lebih cepat mengendap. Dilaporkan bahwa 60 – 99 persen pestisida yang diaplikasikan akan tertinggal pada target atau sasaran, sedang apabila digunakan dalam bentuk serbuk, hanya 10-40 persen yang mencapai target, sedang sisanya melayang bersama aliran angin atau segera mencapai tanah.
Petani pada umumnya tidak langsung
mencuci pakaian yang digunakan tetapi mereka menjemur kembali pakaian mereka untuk digunakan pada saat penyemprotan selanjutnya. Kebiasaan ini dapat berakibat keracunan pada petani tersebut yaitu masuknya bahan kimia dari pestisida melalui kulit, bahan racun tersebut memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan yang larut minyak (polar). Pada petani pengguna pestisida keracunan yang terjadi lebih banyak terpapar melalui kulit dibandingkan dengan paparan melalui saluran pencernaan dan pernafasan.
Pada umumnya perilaku petani menggunakan
APD yang tidak lengkap, mereka pada umumnya hanya menggunakan rata-rata 3 APD yang berupa baju lengan panjang, celana panjang dan topi. Pestisida umumnya adalah racun bersifat kontak, oleh karenanya penggunaan alat pelindung diri pada petani waktu menyemprot sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida. Pemakaian alat pelindung diri lengkap ada 7 macam yaitu : baju lengan panjang, celana panjang, masker, topi, kaca mata, kaos tangan dan sepatu boot. Pemakaian APD dapat mencegah dan mengurangi terjadinya keracunan pestisida, dengan memakai APD kemungkinan kontak langsung dengan pestisida dapat dikurangi sehingga resiko racun pestisida masuk dalam tubuh melalui bagian pernafasan, pencernaan dan kulit dapat dihindari.

0 Response to "Penggunaan Pestisida"

Posting Komentar

wdcfawqafwef